Filsafat ialah satu disiplin ilmiah yang mengusahakan kebenaran yang bersifat umum dan mendasar. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti
love of wisdom
atau mencintai kebenaran. Empat hal yang melahirkan filsafat yaitu
ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya dan ke-raguan. Ketakjuban
terhadap segala sesuatu (terlihat/tidak) dan dapat diamati (de-ngan mata
dan akal budi) serta ketidakpuasan akan penjelasan berdasarkan mitos
membuat manusia mencari penjelasan yang lebih meyakinkan dan berpikir
rasio-nal. Hasrat bertanya membuat manusia terus mempertanyakan
segalanya, tentang wujud sesuatu serta dasar dan hakikatnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh penjelasan yang
lebih pasti menunjukkan adanya keraguan (ketidakpastian) dan kebingungan
pada manusia yang bertanya.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan
sejarah filsafat di Yunani, “
philosophia” meliputi hampir seluruh
pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang
lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan
kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya
ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah
identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van
Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian
dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem
filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999),
filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh
mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari
batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin
maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula
sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih
khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah
apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu
pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “
Knowledge Is Power”,
kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap
kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat
menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono
(1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan
cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu
dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya,
dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi
perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang
mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel
Kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang
lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon
(dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari
ilmu-ilmu (
the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan
“a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama
diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini
didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang
berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu
atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat
dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.
Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan
mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono
dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah
karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan
satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan
filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan
permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan
difokuskan pada pembahasan tentang: “
Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam.
Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris
philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “
philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah
philos (philia, cinta) dan
sophia (kearifan).
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat
berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian
sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat
yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam
Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang
paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam
segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah
philosophia dan
philosophos
ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini
lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a
2 + b
2 = c
2. Pytagoras menganggap dirinya “
philosophos”
(pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales
(640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran
filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta
untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The
Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap
yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju
dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah
kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada
tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala
alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin
kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara
memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997),
dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
Sistematika Filsafat
A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.
Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek
yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana
hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa,
dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi
tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang
membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti
yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua
bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan
yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup,
antara jenis-jenis dan individu-individu. Dari pembahasannya memunculkan
beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir,
yaitu:
- Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu
adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari
yang ada.
- Idealisme (Spiritualisme); Aliran ini menjawab kelemahan dari
materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani
(spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
- Dualisme; Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang
berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini
terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
- Agnotisisme. Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang
mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin
benar dan mungkin pula tidak.
B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang
lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu
tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika
, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral
dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah
evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral. Dalam
epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
- Empirisme; Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
- Rasionalisme; Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam
kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk
merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan
menekankan pada metode deduktif.
- Positivisme; Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme.
Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam
dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan
reliabilitas pengetahuan.
- Intuisionisme. Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan
hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia.
Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan
unik.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan
kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai
yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika,
sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau
estetika.
Etika disebut juga filsafat moral (
moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata
mos atau
mores
(Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral
atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah
laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan
atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Moralitas manusia adalah
objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat
manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah
menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori
yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis.
Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
- Deontologis: Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel
Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu
menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut
tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila
perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
- Teologis: Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu
perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada
ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan
manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan
utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham
(1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 –
1873).
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (
philosophy of beauty),
yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya
hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika
membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai
atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul
persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu,
keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan,
peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan
kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama
jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan
hukum.
Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai
dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang
Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat
ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh
antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah
digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat
ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu
itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk
mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie
J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu
yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada
strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan
sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau
kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia
(Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar
tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke
bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian
setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk
masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984),
filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu
cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk
memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu
menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus
dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah
“ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang
akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis,
agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat
menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang
akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta
pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan
dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento
Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu,
kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital
bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa
dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta
keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya,
struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto
sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari
kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai
perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam
adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu
pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan
filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara
berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan
alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh
jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi
filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai
tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan
common sense
(pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam.
Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk
kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya
ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara
fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis
dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk
refleksif (
relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam
struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk
mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait
dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses
alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan
ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam.
Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam
ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang
mengizinkan
registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang
penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam
sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap
benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan
kepada kita. Yang diregistrasi dalam
eksperimen adalah cara
benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita.
Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih
teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu
terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan
tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer
lainnya.
Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17.
Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu
pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan
oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah
ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala
dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu.
Dengan
mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara
lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi
ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang
secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut,
dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan
Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.
Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas
ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu
yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana
dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya
(The Liang Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari
setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan
biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.
Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta
energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam
The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa
sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis,
kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “
…
that it relates to the law of the phenomena of composition and
decomposition, which result from the molecular and specific mutual
action of different subtances, natural or artificial” ( arti
harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala
komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun
sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak
saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen),
melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada
mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam
bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya
utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton:
New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu
pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu
filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi
para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam
dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.
Arti Kebenaran
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat
ilmu.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang
mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu:
- Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya).
- Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya)
- Kejujuran, ketulusan hati
- Selalu izin, perkenanan;
- Jalan kebetulan.
Jenis-Jenis Kebenaran
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu:
- Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
- Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
- Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
Teori-teori Kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam perkembangan pemikiran filsafat
sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog membangun
teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang
paling awal. Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat ini,
dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan
penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai
kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara
memperoleh pengetahuan. Berikut secara tradisional teori -teori
kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
- Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Sintaksis
- Teori Kebenaran Nondeskripsi
- Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)
Sifat Kebenaran Ilmiah
Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas,
sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki
pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda
satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari
kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu yang
pertama kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap
pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun.
Kedua pengetahuan itu berupa pengetahuan biasa atau disebut
ordinary knowledge atau
common sense knowledge.
Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya
subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Ketiga adalah
pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang
khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan
kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu
mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan
mutakhir.
- Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya
melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran
yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
- Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.
Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan
yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki
nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk
memahaminya.
- Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana
cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan
mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan
akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun
pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya
harus melalui indera pula.
- Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.
Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek,
mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini
mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika
objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai
kebenaran yang sifatnya objektif.
Berdasarkan perkembangan ilmu abad 20 menjadikan manusia sebagai
mahluk istimewa dilihat dari kemajuan berimajinasi. Konsep terbaru
filsafat abad 20 di dasarkan atas dasar fungsi berfikir, merasa, cipta
talen dan kreativitas. Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian
dan kegiatan ilmiah.
Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir
ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah
seperti perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur,
menjugi hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah
berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat /
sarana yang baik sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang
kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.
Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik,
sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan
pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berfikirnya, maka maka ilmu merupakan gabungan
antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka
penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses
logika deduktif dan logika induktif
.Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah
yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau
menolak hipotesis yang diajukan.
Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan
sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah
penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing
sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut.
Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa
mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan sekiranya
sarana berfikir ilmiahnya memang kurang dikuasai. Untuk dapat melakukan
kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa
bahasa, logika, matematika dan statistik.
Sarana berfikir ilmiah adalah alat untuk membantu proses metode ilmiah
untuk mendapatkan ilmu dan teori yang lain. Hal yang perlu diperhatikan
bahwa sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu melainkan kumpulan
pengetahuan yang didapat berdasarkan metode ilmiah, sehingga diharapkan
untuk dapat memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Sarana berfikir ilmiah terdiri dari : Bahasa, logika, matematika dan
statistika.
Referensi
Terima kasih kepada pihak-pihak di bawah ini atas sharing informasinya.
http://liliksetiono.wordpress.com
http://www.e-dukasi.net/filsafatilmu/mo_full.php?moid=75&fnam.htm
http://www.pssplab.com/journal/07.pdf
http://www.pdf-search-engine.com/filsafatilmu-pdf.html
http://www.pdf-search-engine.com/teori kebenaran-pdf.html